Jumat, 20 November 2009

Kesenian rawa-rawa

Pesta seni kalimantan barat berlangsung di lapangan pahlawan amuntai. 80 anak sekolah dasar membuka acara dengan tarian baingun itik, yang menggambarkan kesibukan bebek di rawa-rawa. (sr)

Dari http://www.tempointeraktif.com

IDAMAN menyelenggarakan satu pesta seni, akhirnya kesampaian juga di Kalimantan Selatan. "Sudah sejak tahun 60-an terkandung niat serupa ini, tapi selalu kandas dijegal Lekra", kata Drs Yustan Aziddin, Wakil Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalsel. Itu sebabnya gerangan upacara pembukaan yang berlangsung di lapangan Taman Pahlawan Amuntai, 10 Pebruari lalu, lumayan juga meriahnya. Dalam buku acara direncanakan melepas sejumlah belibis ke udara. Apa lacur: akhirnya "pembaharuan dengan belibis" itu terpaksa diurungkan, diganti merpati dan balon-balon warna-warni sebagai biasa. Penggantian itu konon disebabkan orang kuatir jangan-jangan burung penghuni rawa itu malahan iseng merayani gelanggang dan tak mau terbang.

Sayang sebiji.

Sesaat pelepasan merpati dan balon, lapangan memang segera terisi oleh 80 anak-anak sekolah dasar yang berketopong karton itik. Mereka memainkan tarian Bangun Itik -- yang gerak-geriknya melambangkan kerja penggembala itik. Tarian ini diciptakan orang Amuntai, Kestaiari namanya. Gambaran pengangon bebek itu dimainkan kanak-kanak dengan luwes menirukan kesibukan bebek di rawa-rawa. Di akhir pergelaran tak diabaikan menampilkan kebiasaan kaum itik: bertelur. Dan di lapangan itu telur bergelindingan -- telur betul-betul -- dipungut dan dikumpul sang gembala ke dalam satu keanjang.

Pada giliran itik-itik itu naik ke tribune, satu-persatu mereka mencomot itu telur dari keranjang untuk disampaikan kepada para tetamu undangan yang mulia, tak terkecuali kebagian Aris Kartadipura Ketua DPRD propinsi Kalsel sementara Gubernur Subardjo tak hadir lantaran harus raker di Jakarta dan diwakili Drs Badrum Aran. Pembawa acara lantas mengomentari. "Telur yang dipersembahkan semuanya telah dimasak! Tak usah kuatir pecah dan kalau mau bisa disantap sekarang juga!". Tawaran protokol disambut rada kikuk oleh para tetamu -- mungkin juga sebab mereka teringat ungkapan "sayang anak", tapi sayangnya cuma sebiji. Orang-orang memang pada ketawa-ketawa kecil selama dimainkannya itu tarian Bangun ltik yang diiringi gesekan biola dan tabuhan gendang Kadir Umar dan kawan-kawan, membawakan lagu daerah Dundam Sayang.

Berkayuh sampan.

Pekan kesenian seKalimantan Selatan ini diikuti oleh 11 kontingen kotamadya plus kabupaten, dengan 389 peserta. Orang sana menyebut peristiwa ini aruh saniman alias pesta. Berapa biaya yang dihabiskan? "Rp 3 juta di luar biaya listrik" jawab Makkie BA, Humas Pemda Hulu Sungai Utara. Diperincinya: "Dari Gubernur via DKD Rp 500 ribu, selebihnya sumbangan masyarakat". Yang terbanyak dari sektor pelabuhan. "Per kwintal karet masuk kami minta Rp 100 atau Rp 1.000 per-ton". Sedang dari pengusaha kayu dan pemborong, menurut Makkie, "Yayang menyumbang Rp 250 ribu buat dibelikan lampu merkuri".

Dengan uang sebegitu, pesta seniman diselenggarakan dengan memperlombakan seni suara dan deklamasi. Tapi bagi penduduk setempat hiburan lain yang disajikan, seperti damarwulan, kuda gepang, mamana, japen dan madi hin nampaknya cukup menarik. TiaF malam orang-orang dari kawasan perbu kitan Awayan, Paringin, Lampihong, Juai, ramal-ramai turun ke Amuntai naik sepeda atau berkayuh sampan, atau pun jalan kaki. Pementasan sandiwara oleh Ajim Aryadi dari produksi DKD yang mengambil naskah Iwan Simatupang berjudul Taman -- menurut laporan Rahmat Marlim -- "kurang dapat dihayati penonton". (Begitu pula nasib drama arena Penggali Intan yang dibawakan kabupaten Tapin, karangan Kirjomulyo

Krung! Krung!

Di samping penampilan naskah dari Jakarta da Yogya itu disajikan pula buah tangan pengarang pribumi, yakni pribumi setempat -- seperti Ajim Aryadi yang mengetengahkan Alam Roh Kalimantan, Kurtubi dari Handangan menghidangkan Broncus yang konon minikata, Benawa dari Banjarbaru menyuguhkah naskahnya Haji Dulalim Yang Agung. Akan hal kontes tarik tenggorokan, di sini ajibka peserta pria maupun wanita menyanyikan lagu Ading Bastari dan Kakambang Habang Begitu pula untuk lagu-lagu pilihan diutamakan lagu-lagu daerah. Sehingga paling tidak selama pesta tersebut di Kalimantan Selatan nasib lagu-lagu pop yang merajai kawasan itu seperti Kolam Susu atau Hitam Manis, tergeser sebentar. Di sampan-sampan sepanjang Pariwara ataupun di mck (mandi-cuci-kakus) di Tangga Ulin lagu-lagu daerah setempat yang nyaris tepakan, kembali bergumam di bibir orang -- ini menurut Rahmat Marlim.

Maka Anang Adenansi pun Ketua DKD Kalsel, angkat bicara pada penutupan pesta tersebut 15 Pebruari. "Bumi seni Kalimantan Selatan tak benar gersang", serunya -- tentu saja. Bahkan sebelumnya Dirjen Kebudayaan Prof Gde Mantra yang sempat menyaksikan aruh saniman di Amuntai itu, memang sudah mengangguk-angguk kepada TEMPO: "Masyarakat daerah ini ternyata mampu memelihara kebudayaan daerah", ujarnya. Ini dikemukakannya sesaat setelah menyaksikan tari Gintur -- kesenian klasik di ujung Hulu Sungai Utara. Tarian ini diiringi bunyi-bunyian: "Krung! Krung!" yang keluar dari bambu plus kayu yang dihentak-hentakkan ke landasan kayu keras. Singkatnya, dengan pesta berseni-seni ini orang-orang pada gembira. Apa lagi karena peristiwa itu mewariskan tujuh lampu merkuri untuk penerangan kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar