Minggu, 22 November 2009

Kuliner Keraton

http://www.kompas.com, edisi Kamis, 31 Januari 2008 | 00:39 WIB

by: Bondan Winarno

Tulisan saya minggu kemarin memicu ingatan pada diskusi dua tahun yang lalu di milis Jalansutra tentang kuliner keraton alias royal cuisine. Yohan Handoyo yang memulai diskusi mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah bedanya dengan masakan rakyat biasa? Atau cuma masakan biasa yang menggunakan bahan-bahan luar biasa? Atau malah cuma penampilannya saja yang dibuat bergaya?

Yohan ketika itu mencoba melakukan riset dan ternyata menemukan bahwa haute cuisine di Prancis punya sejarah yang panjang. Tidak percaya? Baca saja komik Asterix. Bukankah Obelix yang sangat doyan celeng panggang jadi kaget ketika melihat bahwa ternyata bangsawan Romawi sudah lebih dulu menyukai sajian itu. Sayangnya, Obelix tidak singgah sempat ke Puri Ubud dan melihat para raja Bali menyantap be guling.

Mungkin sekali pertanyaan-pertanyaan Yohan itu dipicu oleh undangan Mas Iwan Tirta beberapa bulan sebelumnya yang mengajak kami berhalalbihalal di rumahnya. Mas Iwan menyajikan berbagai hidangan yang menurutnya dimasak berdasar resep-resep Puro Mangkunegaran. Sekalipun bergaris darah Cirebonan, Mas Iwan memang dikenal sangat dekat dengan keluarga Mangkunegaran.

Tetapi, Mas Iwan sendiri justru berpendapat bahwa keraton-keraton di Jawa justru tidak mempunyai royal cuisine yang dapat dibandingkan dengan istana-istana Prancis atau Italia pada abad ke-18. Menurutnya, keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta di masa itu malah mengirim jurumasaknya untuk belajar masak di keluarga-keluarga Belanda. Perlu pula dicatat bahwa pada masa itu banyak pangeran muda yang justru “dititipkan” kos pada keluarga-keluarga Belanda, sehingga menyerap kebiasaan kuliner asing. Salah satu makanan kesukaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX – yang di masa mudanya bersekolah di Negeri Belanda – adalah sup makaroni yang kemudian diadaptasi menjadi sajian khas keraton Yogya.

Tidak heran bila banyak sajian Puro Mangkunegaran yang sebetulnya juga merupakan fusion dengan masakan Belanda. Sambel goreng srinthil, misalnya, adalah sambel goreng yang dibuat dari bulatan-bulatan kecil daging cincang yang diadaptasi dari masakan Belanda. Bulatan daging ini juga kemudian hadir dalam sup dengan kacang kapri dan potongan sosis.

Salah satu hidangan khas Solo yang menampakkan fusion dengan kuliner Belanda adalah selat solo yang mungkin sekali nama aslinya adalah sla atau salad. Sajian ini merupakan silang antara semur, biefstuk, dan selada. Jejak-jejak kebelandaannya masih sangat kuat. Bukankah sosis solo juga sebetulnya merupakan blaster antara semar mendem dan saucijsbrood-nya wong londo?

Sebaliknya, Kanjeng Gusti Ratu Alit, putri kesayangan almarhum Sri Sunan Pakubuwono XII yang memang diberi “kekuasaan” untuk mengurusi dapur keraton pada waktu itu, justru berpendapat bahwa sajian khas keraton-lah yang kini populer menjadi santapan rakyat. Menurutnya, contoh yang paling nyata adalah nasi liwet. Sajian yang dulunya merupakan kesukaan para raja dan keluarganya, kemudian menyusup menjadi sajian yang populer di kalangan masyarakat luas. Pernah cicipi nasi liwet Bu Wongso Lemu, ‘kan? Dia bukan saudaranya William Wongso, lho?

Bagaimana pula dengan keraton-keraton di luar Jawa? Apakah mereka mempunyai santapan khusus bagi para ningrat di lingkungan baluwarti? Saya pernah berkunjung ke Istana Pagaruyung di Sumatra Barat dan Istana Gowa di Sulawesi Selatan, tetapi tidak pernah mendengar tentang adanya masakan yang hanya disuguhkan di sasana andrawina kerajaan.

Tetapi, di Istana Sultan Maimoon di Medan, saya justru sempat mencicipi masakan-masakan Teuku Zahdi yang konon memang dulunya diperuntukkan bagi para bangsawan. Yang saya cicipi misalnya adalah anyang jantung pisang, sambal serai, bubur pedas, serta tepung banda (kue ini juga disebut bolu kamboja). Anyang adalah masakan seperti urap di Jawa, sayurnya jantung pisang, pakis, dan tauge. Sambal serainya sangat gurih, karena diisi udang basah dan udang kering, dengan kelapa bakar yang ditumbuk, disantap dengan ketupat. Bubur pedasnya mirip bubuh pedah di Aceh, dibuat dari 44 macam bahan dan bumbu. Sama dengan di Solo, santapan para Raja Deli inipun kini populer sebagai masakan rakyat. Bedanya, masakan khas ini hanya muncul pada bulan suci Ramadhan, karena rupanya terlalu rumit untuk disajikan sebagai makanan sehari-hari.

Sekalipun secara terbatas kita juga mengenal adanya berbagai santapan kesukaan para raja di masa lalu, tetapi sebetulnya jenis-jenis masakan itu tidak banyak berbeda dari masakan yang juga dinikmati oleh rakyat. Berbeda sekali dengan definisi royal cuisine seperti yang dapat kita pelajari dari istana-istana Prancis, Italia, China, Jepang, dan Korea. Kuliner istana di sana benar-benar dibuat dari bahan yang sangat eksklusif, dan prosesnya pun sangat eksklusif. Sekarang, di Beijing ada beberapa restoran khusus yang menyajikan menu imperial dinner dengan harga selangit.

Jangan khawatir! Di Yogya malah ada dua restoran yang diselenggarakan langsung oleh keluarga keraton. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa kuliner keraton bukanlah sesuatu yang eksklusif. Resep keraton “sengaja” dibocorkan agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Restoran “Bale Raos” yang terletak di bagian selatan keraton Yogya, di Jalan Magangan Kulon, misalnya, menyediakan berbagai sajian kesukaan para raja. Ada bebek suwar-suwir dengan bumbu kedondong kesukaan Sri Sultan HB IV. Ada pula singgang ayam kesukaan Sri Sultan HB IX. Tetapi, he he, jangan kaget kalau menemukan sajian khas Surabaya di sana, yaitu lontong kikil. Rupanya, ada seorang pangeran yang ketika berkunjung ke Surabaya jatuh hati pada masakan ini, sehingga kemudian juga memerkaya khasanah kuliner Keraton Ngayogyakarta.

Di bagian depan keraton, di Jalan Rotowijayan, juga ada “Gadri Resto” yang langsung ditangani oleh BRAy. Hj. Nuraida Joyokusumo. Restoran ini berlokasi di rumah pangeran, sehingga para tamu dapat menikmati suasana khas keningratan. Sekalipun berasal dari Kalimantan, istri GBPH Joyokusumo (adik merangkap ajudan Sri Sultan HB X) ini ternyata tekun belajar kuliner keraton. Ia bahkan sudah menulis buku resep-resep masakan yang disukai para raja-raja pendahulu.

Tamu yang berkunjung ke “Gadri” biasanya akan disambut dengan welcome drink yang disebut Royal Secang. Wedang secang yang dibuat dari jahe, kayu manis, dan serutan kayu secang sehingga berwarna merah ini adalah kesukaan Sri Sultan HB IX juga. Minuman ini sekarang juga disajikan dengan es untuk mengikuti zaman.

Jangan lupa mencicipi hidangan “Gadri” yang bertajuk Nasi Blawong. Blawong sama sekali tidak mencerminkan sajiannya, melainkan referensi terhadap piring sajinya. Di masa lalu, hidangan untuk para raja disajikan dalam piring yang didatangkan dari Belanda dengan motif Delft blauw (biru). Nama piring itu dalam bahasa Jawa kemudian menjadi piring blawon.

Di tengah piring itu diceplok nasi yang berwarna merah muda. Ini adalah nasi gurih yang bumbu utamanya adalah bawang merah. Selain menciptakan efek segar, bawang merah inilah yang “bertanggung jawab” mewarnai nasi itu menjadi merah muda. Di sekitar nasi ceplok itu ditata lauk-pauknya yang tidak terlalu mewah, yaitu: ayam goreng lengkuas, daging sapi lombok kethok, dan telur masak pindang yang kemudian digoreng.

Nasi blawong adalah santapan raja yang memang hanya dapat ditemukan di “Gadri”. Tetapi, favorit raja seperti nasi langgi dan nasi punar kini sudah umum dijumpai di berbagai tempat makan umum.

Dalam daftar menunya, “Gadri” menyajikan berbagai sajian yang memang harus dicoba satu per satu, seperti: daging sanggar, pastel krukup, untup-untup sayur, sayur klenyer, dan lain-lain. Coba juga dessert-nya yang khas seperti: pandekuk, rondo topo, tapak kucing, atau prawan kenes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar